TSMpGUd8BUMoGUMoTSO6TSM7Ti==

'Karena Teroris Juga Manusia'


'Karena Teroris Juga Manusia'
Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme 


INSTINGJURNALIS.com - Bandar Lampung - Mendengar istilah teroris bagi sebagian orang mungkin mengerikan. Bayangan yang ada adalah sosok orang yang jahat, karena aksi-aksinya tak jarang mengakibatkan kerugian materi, korban luka dan jiwa dalam jumlah besar. 

Tapi teroris juga adalah seorang manusia biasa yang pada titik tertentu mencapai batas kemanusiaannya, sehingga mamiliki rasa empati dan memilih bertaubat. 

Cerita itulah yang di antaranya mengemuka di kegiatan Dialog Pelibatan Civitas Academica dalam Pencegahan Terorisme di kampus Universitas Lampung, Bandar Lampung, Selasa (20/8/2019) kemarin.

Kegiatan ini dilaksanakan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Lampung sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran civitas academica untuk membersihkan lingkungannya dari paham radikal terorisme.

Adalah Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme yang menceritakan awal mula kesadarannya kepada peserta kegiatan. Itu diakuinya terjadi pada kisaran tahun 2014, di saat dirinya menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. 

"Kalau di Lapas kami itu biasa dipanggil ustadz oleh para sipir. Mereka biasa konsultasi urusan keagamaan, karena kami dianggap mengerti soal-soal agama," kata Kurnia mengawali ceritanya. 

[CUT]

Dari serangkaian pertanyaan dari para sipir, lanjut Kurnia, di antaranya ada yang konsultasi seputar permasalahan berumah tangga. Dari forum konsultasi dadakan itulah dia pada akhirnya tersadar tidak mungkin mengkafirkan aparat pemerintah, termasuk para sipir. 

"Masak orang nganggap kita ustadz malah kita kafirkan?" katanya disambut tepuk tangan peserta kegiatan.  

Selepas menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan,  pertaubatan Kurnia semakin menemukan jalannya. Itu setelah dia difasilitasi oleh sebuah lembaga nirlaba untuk bertemu penyintas ledakan bom hotel Ritz Carlton, Jakarta, di mana dia mendapatkan cerita bagaimana penderitaan akibat luka yang diderita korban. 

"Saya bukan pelaku bom Ritz Carlton, tapi waktu itu saya diajak ikut pertemuan. Korbannya namanya Febri, dia cerita bagaimana dia cerita setiap saat membuka perban akibat luka bakar. Saya ikut merasakan sakitnya," ungkap Kurnia. 

Puncak pertaubatan Kurnia terjadi saat BNPT memfasilitasinya untuk bertemu dengan korban ledakan bom Kedutaan Besar Australia, di mana dia mendengar testimoni korban harus kehilangan istri dan membesarkan anaknya seorang diri. 

[CUT]

Sang anak sempat mengatakan kelak ingin menjadi polisi untuk menembaki teroris, namun dibalas oleh ayahnya bahwa memafakan adalah pilihan terbaik. 

"Sampai nangis saya. Dulu merakit bom dan beraksi tidak pernah berfikir (belas kasihan), tapi korban akibat aksi kami malah memilih memaafkan," ujar Kurnia. 

Dari cerita yang disampaikannya, pria yang mengaku pertama kali terpapar paham radikal saat duduk di bangku  SMA di Bandar Lampung tersebut mengingatkan generasi muda untuk tidak pernah mencoba-coba mendekati atau mempelajari paham radikal terorisme. 

"Hati-hati dalam memilih teman, karena saya seperti ini juga karena salah dalah pertemanan," ujarnya. 

Pria yang yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat, itu mengajak masyarakat untuk mencintai dan merawat keutuhan Indonesia. Dia menyebut Indonesia memang bukan negara berlandaskan agama, tapi Indonesia didirikan berdasarkan konsunsus pemuka agama. 

"Itu sudah cukup untuk kita syukuri, karena kalau kita berkonflik kita tidak bisa menjalankan agama dengan tenang," pungkasnya. [shk]

Editor : Satria

Type above and press Enter to search.